Wawancara nikmat Nama saya Aidit. Usiaku saat ini 38 tahun dengan tinggi badan 165 cm, berat badan 59 kg, warna kulit antara putih dan hitam, rambut hitam lurus. Saya tinggal pada salah satu kota Kabupaten di Sulsel bersama seorang istri dan 3 orang anak. Sehari-harinya saya bekerja sebagai pengelola jasa, khususnya di bidang pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah. Ceritanya begini. Pada bulan Agustus tahun lalu, saya kebetulan menerima pesanan karya ilmiah dari seorang mahasiswi pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta di kota tempat tinggal saya, judulnya "PACARAN SEBELUM KAWIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KERHARMONISAN RUMAH TANGGA". Sesuai perjanjian saya dengan mahasiswi tersebut (namanya panggil saja 'Ati'), bahwa pengumpulan data-dada yang akan dimuat dalam karya ilmiah itu menjadi tanggung jawab Ati selaku mahasiswi yang akan mempertanggung jawabkan isinya di depan penguji. Setelah Ati mengajukan proposal atau draft karya ilmiah yang telah saya susun sesuai pesanannya dan telah mendapat persetujuan dari ketua jurusan dan dosen pembimbingnya, saya lalu meminta dia untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan judulnya itu, baik dengan cara mencari buku-buku rujukan maupun dengan cara melakukan penelitian melalui wawancara dengan beberapa orang yang telah berumah tangga, terutama terhadap mereka yang kebetulan pacaran sebelum nikah. Meskipun sebenarnya banyak buku-buku yang berkaitan dengan judul tersebut, namun selain saya ingin mengetahui fakta-fakta di masyarakat tentang pengaruh pacaran sebelum nikah, juga untuk memanfaatkan judul itu agar saya bisa mengorek pengalaman berpacaran dari beberapa orang yang telah menjadi suami istri. Setelah berjalan sekitar 2 minggu, Ati datang ke rumah membawa beberapa buku rujukan, namun ia tidak membawa sedikitpun data hasil wawancara dengan orang lain sesuai permintaan saya, dengan alasan ia merasa malu, segan dan tidak mampu wawancara, padahal daftar pertanyaannya telah saya berikan sejak awal. "Aduh Kak, saya kesulitan memperoleh data wawancara, karena saya merasa malu dan takut tidak dilayani orang, apalagi saya ini kan masih gadis" katanya sambil meletakkan beberapa buku rujukan karya ilmiahnya di depan saya. "Ngga apa-apa jika memang hal itu masih agak sulit adik dilakukan, saya maklumi alasannya itu kok, apalagi adik tidak dibekali izin penelitian dari pemerintah, bisa- bisa adik disangka punya maksud lain. Nanti kita lihat bagaimana caranya yang terbaik agar penyusunan karya ilmiah ini tetap berjalan sesuai rencana" demikian kata saya sambil mencoba menenangkan perasaannya agar ia tidak merasa putus asa. Hanya dalam tempo 3 minggu saya sempat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah itu, namun saya masih tetap tidak print, karena rencana ujian meja Ati masih jauh yakni nanti pada Bulan Oktober 2001 (masih berkisar 2 bulan lagi). Saya terus mencari akal bagaimana caranya agar keinginan saya tadi bisa terwujud. Saya mencoba menghubungi di rumahnya lewat telepon dan minta agar dia datang ke rumah saya guna membicarakan masalah kelanjutan penyusunan karya ilmiah itu. Setelah Ati datang ke rumah saya pada hari itu juga, saya menawarkan bantuan. "Bagaimana jika saya sendiri membantu adik melakukan wawancara dengan beberapa kenalan saya, yang kebetulan saya ketahui telah pacaran sebelum nikah? apakah adik tidak keberatan?" begitulah tawaran saya pada Ati ketika kami duduk bersama pada ruang tamu di rumah saya, apalagi Ati nampak bingung dan kesulitan memperoleh data wawancara waktu itu. "Justru saya sangat setuju Kak, dan berterima kasih pada Kak atas kesediannya membantu saya. Saya bersedia memberikan segala biaya yang Kak butuhkan selama dalam proses penelitian wawancara itu". Dimikian jawaban Ati atas tawaran saya itu, seolah dia sangat gembira dan bersemangat mendukung tawaran saya itu. Ati adalah anak satu- satunya perempuan dari 3 bersaudara. Dia anak seorang pengusaha beras yang tergolong kaya di daerah kami, sehingga tak heran bila Ati bersedia membayar biaya-biaya yang saya butuhkan dalam proses penyusunan karya ilmiahnya. Karenanya, saya berani menawarkan bantuan kepadanya, selain untuk memperoleh maksud tertentu saya itu juga untuk memperoleh tambahan penghasilan dari Ati. Bahkan Ati sempat menawarkan kendaraan sepeda motor Honda Supra yang dipakainya kepada saya untuk saya gunakan selama proses wawancara di lapangan, tapi saya tidak menerimanya karena saya masih punya sepeda motor sendiri yang bisa saya gunakan dalam proses wawancara itu, lagi pula biar Ati merasa berutang budi pada saya nantinya. Setelah saya membuat Surat Kuasa Penelitian dan minta tanda tangannya, Ati lalu pamit untuk pulang ke rumahnya. Keesokan harinya, sayapun mulai bereaksi. Mula-mula saya datangi tetangga dekat yang saya kenal pacaran sebelum nikah dengan membawa sejumlah pertanyaan spekulatif yang bisa menjebak para responden. Tentu saja saya terlebih dahulu mempersiapkan beberapa kriteria responden dan syarat- syarat wawancara, termasuk usianya tidak terlalu lanjut, punya penampilan yang menarik, punya waktu dan kesempatan yang banyak untuk diwawancarai, jujur, terbuka, tidak terlalu ketat kontrol dari suaminya sebab obyek penelitian saya, khusus bagi wanita saja serta beberapa syarat lain yang bisa mewujudkan impian saya, termasuk salah satu syarat utamanya adalah bersedia menandatangani kesepakatan rahasia wawancarapa pada siapapun, khususnya kepada suami mereka. Hampir semua responden yang saya wawancarai merasa senang dan tidak menolak ketentuan wawancara yang saya ajukan, sebab mereka itu rata-rata kenalan saya, bahkan ada di antara mereka bekas pacar atau sahabat saya, sehingga tanpa saya janjikan apa- apapun mereka nampaknya tetap bersedia untuk diwawancarai dan ingin agar wawancara itu berjalan lama dan berulang-ulang kali, apalagi kami lakukan rata-rata di tempat khusus yang sengaja saya sediakan untuk wawancara, termasuk di kamar-kamar penginapan atau hotel dan di rumah-rumah sahabat saya. Ida (nama samaran) adalah wanita berusia 35 tahun sebagai responden yang pertama kali saya wawancarai. Dia kebetulan tetangga dekat saya, yang sehari- harinya saya temani ngobrol tentang berbagai hal, termasuk soal berpacaran, meskipun suaminya selalu di sampingnya, tapi dia orangnya suka humor, terbuka dan lugu, bahkan seringkali humor soal-soal porno, termasuk hubungannya dengan suaminya. Pada hari itu, suaminya kebetulan ke kota Makassar mengikuti pertemuan organisasi usaha yang dikelolanya (sebutlah pelatihan) selama beberapa hari. Tentu saja kesempatan seperti itu yang saya tunggu-tunggu. "Ida, kemana suaminya kok ngga kelihatan?" tanya saya ketika saya sedang menemuinya di depan rumah kami sambil berpura-pura tidak tahu, meskipun sebelum suaminya berangkat ke Makassar sempat kami bincang- bincang mengenai rencana keberangkatannya itu. "Ke Makassar Kak Dit, kebetulan dia dapat rekomendasi dari Depnaker untuk ikut pelatihan selama sepekan di Makassar" jawabnya. Setelah kami bincang- bincang sebagaimana layaknya tetangga dekat, saya lalu menyampaikan maksud utamaku padanya. "Mau ngga Dik Ida membantu saya, sebab kebetulan saya mempunyai masalah yang berkaitan dengan profesi saya, dan nampaknya adik Ida merupakan salah seorang yang dapat saya harapkan membantu menyelesaikannya" tanya saya pada Ida dengan santai sambil saya sedikit tersenyum padanya. "Masalah apa Kak Dit, mudah-mudahan saya bisa dan mampu membantu, apalagi kita ini kan sudah seperti keluarga atau saudara sendiri" katanya lebih lanjut. "Ngga berat kok, hanya saya butuh informasi yang jelas dari adik Ida", kata saya terus terang padanya. "Tentang apa itu Kak Dit? saya rasanya kurang banyak mengetahui informasi" tanyanya seolah bingung dan serius ingin mengetahui masalahku. Setelah saya melihat Ida kebingungan dan seolah ingin cepat mengetahui masalah saya yang perlu bantuan dari dia, saya lalu mengajak masuk ke rumahnya dengan alasan kurang sopan jika saya menyampaikannya di luar rumah. Ia pun bergegas masuk dan mempersilahkan saya duduk di kursi plastiknya yang ia telah siapkan. Setelah kami duduk berhadap-hadapan, sambil meletakkan di atas meja beberapa lembar kertas yang saya bawa, seperti surat kuasa penelitian dari Ati, ketentuan wawancara dan lain-lainnya, saya lalu berkata terus terang padanya. "Begini Dik Ida, ada seorang Mahasiswi yang sedang saya susun karya ilmiahnya, yang kebetulan kesulitan mendapatkan data-data wawancara tentang judulnya, sebab berkaitan dengan masalah kehidupan suami istri, maklum ia masih gadis. Jadi terpaksa ia minta tolong dan menguasakan pada saya untuk mengambil data-data dari beberapa orang yang telah berkeluarga, termasuk adik Ida, siapa tahu mau berbaik hati memberikan informasi yang jelas, jujur, terbuka dan penuh keikhlasan" demikian penjelasan saya secara rinci terhadap Ida. Mendengar penjelasan saya itu, dia tiba-tiba tertawa kecil lalu diam sejenak seolah ragu dan malu mengutarakan soal-soal kehidupan rumah tangganya. Namun, setelah berfikir sejenak dan mempertimbangkan tawaran saya itu, akhirnya dia meraih dan membaca lembar per lembar kertas yang saya letakkan di depannya itu tanpa bersuara sedikitpun. Setelah dia baca dan paham isinya, dia lalu berkata, "Ngga apa- apalah, asalkan Kak mau merahasiakan pada suami saya dan pada orang lainnya tentang informasi yang saya berikan mengenai kehidupan rumah tangga kami bersama suami. Kebetulan Ida hanya sendiri di rumahnya waktu itu, sebab ia belum dikaruniai seorang anak, meskipun telah beberapa tahun menjalani kehidupan rumah tangga dengan suaminya. Setelah menyatakan kesediaannya dan menandatangani perjanjian wawancara yang saya sodorkan, Ida lalu bertanya, "Apa yang ingin Kak Dit tanyakan pada saya, silahkan diajukan satu- persatu, nanti saya berikan jawaban seadanya" katanya. Saya mulai membuka susunan pertanyaan yang telah saya sediakan sebelumnya dan mulai mengajukan pertanyaan pada dia secara berurutan. Dari 27 nomor pertanyaan yang saya siapkan, hanya 11 pertanyaan yang sempat saya ajukan dan dijawab oleh Ida pada waktu pertemuan pertama itu, sebab Ida nampaknya terlalu serius menjawab dan mencermati makna pertanyaan saya, sehingga kondsi wawancara kami seolah dipengaruhi oleh suasana lain yang tiba- tiba menyerang konsentrasi berpikir kami, khususnya pada pertanyaan yang ke 11. "Karena adik Ida menjawab tadi bahwa sebelum nikah dengan suaminya, adik telah bersetubuh beberapa kali dengan calon suaminya di bawa kolom jembatan, bagaimana awal kejadiannya saat itu? tolong dijelaskan satu persatu mulai dari pertama kali bersetubuh hingga yang terakhir kalinya sebelum nikah, termasuk proses selama berlangsungnya persetubuhan anda, misalnya waktu calon suami adik itu memegang tangan adik, mencumbu, memeluk, meremas payudaranya, membuka kancing baju dan celana dalam adik, memasukkan penis dan menggocok memek adik serta posisi yang diterapkannya hingga adik mencapai puncak persetubuhannya" itulah rentetan pertanyaan dan permintaan akhir saya pada Ida saat itu dalam poin 11, sambil meminta ia sedikit memperagakan di depanku. Ida adalah sosok wanita yang cukup mulus dan nampaknya memiliki gairah seks yang tinggi serta sedikit agak simpatik pada saya selama ini sebagaimana nampak dari perbincangan kami sehari-hari. Tidak heran jika ia rela dan tidak segan-segan menuruti semua permintaan saya saat itu, termasuk ia menunjukkan sedikit aksinya di depan saya seolah ingin merangsang saya, meskipun sejak awal saya memang telah terangsang akibat pakaian yang dikenakannya agak tipis dan sedikit ketat, terutama celana kain yang dikenakannya sedikit ditarik agak ke atas sehingga ujungnya berada di atas lututnya. Tangan saya ikut lebih memperjelas ucapkanku dengan sengaja menunjuk dan menyentuh bagian- bagian yang kminta untuk diperagakan sedikit, sehingga wawancara kami waktu itu berjalan semakin tak karuan namun cukup seru. Demikian asyik dan seriusnya memperagakan aksinya di depan saya mengenai persetubuhannya di kolom jembatan bersama dengan pacar atau calon suaminya waktu itu, sehingga Ida tidak terpokus lagi pada pertanyaan dan permintaan saya tadi, malah ia mejawab lebih dari yang kuminta yakni dengan cepatnya berdiri dan melangkah ke pintu lalu mengunci rapat- rapat. Saya heran dan gembira, karena tindakannya mulai mengarah kepada apa yang saya niatkan yakni menikmati tubuhnya yang ramping dengan kulit yang putih mulus itu. Kegembiraan saya itu bertambah ketika Ida tiba-tiba memegang tangan kanan saya dan menuntun saya masuk ke kamar tidurnya. Setelah kami berdua berada dalam kamarnya itu, Ida dengan cepatnya mengunci pintu kamar, lalu kembali menarik tangan saya hingga kami duduk berdampingan di tepi rosban tempat tidurnya. Saat itu saya hanya nurut dan diam seribu bahasa mengikuti aksinya. Tidak lama setelah itu, Ida tiba-tiba berdiri di depan saya sambil berkata, "Jika kakak serius ingin mengetahui jawabanku atas pertanyaan Kak tadi, maka inilah jawabannya.. " kata-kata itu diucapkannya dengan tegas sekali, namun sedikit berbisik sambil mempreteli sendiri pakaian yang dikenakannya seolah ia ingin membuka seluruh pakaiannya sekaligus. Ketika Ida sudah bugil sambil berdiri di depan saya, kontan saja saya ikut berdiri dan langsung meraih kepalanya dan menariknya ke depan sehingga bibir kami saling bersentuhan, berpagutan, bahkan saling mengisap bibir dan lidah tanpa kami bicara sedikitpun. Kebisuan kami itu berlangsung agak lama, namun tangan, bibir dan seluruh tubuh kami sangat aktif menjalankan aksinya masing-masing, termasuk dengan gegasnya Ida mempreteli seluruh pakaian yang menutupi tubuhku, sehingga kami berpelukan dalam keadaan sama-sama bugil. Setelah puas berpagutan dan berpelukan, saya lalu melepaskan pagutan itu dan memindahkan mulutku ke kedua payudara mulus dan putihnya yang tertancap ke depan dan sedikit mengeras, namun ukurannya cukup sederhana. Maklum ia belum pernah meneteki seorang bayi, bahkan belakangan baru saya tahu kalau suaminya pun sangat pasif ketika bersetubuh dengannya, sehingga teteknya itu jarang sekali disentuh oleh mulut suaminya. Hampir seluruh tubuhnya saya jilati mulai dari bagian atas hingga ke bagian bawa. Ketika saya mengisap puting susunya, Ida menggelinjang-gelinjang kegelian bercampur nikmat, sesekali ia mengeluarkan nafas terengah-engah sebagai tanda nikmat yang dirasakannya. Mungkin karena nikmat yang dirasakannya tak tertahankan lagi sampai- sampai ia meraih rambut kepalaku lalu menggigit- gigitnya dan menarik- narik dengan mulutnya. Isyarat itu mendorong saya untuk menghentikan mengisap kedua teteknya, namun kali ini saya alihkan jilatanku ke perut dan turun ke selangkangannya bahkan sempat saya dengar suara dari mulutnya.. "Aduhh Kak, rasanya enak sekali aku ngga tahan lagi nih", sehingga saya tambah bergairah dan mulai tak terkontrol nafasku, apalagi ketika ia meraih kontolku yang sejak tadi mengeras dan berdiri. Meskipun ukuran kontolku itu tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil untuk ukuran penis Indonesia. Semakin saya percepat jilatanku pada lubang memeknya yang sedikit berbulu itu, namun agak montok, Ida juga semakin mempercepat dan memperkuat tarikan tangannya pada kontolku, seolah ia mau membawa lebih dekat dengan memeknya. Ketika kumasukkan lidahku lebih dalam ke lubang memeknya yang basah itu, ia sempat melenguh, "Aahh.. sstt" hanya itu suara yang sempat terdengar di telingaku, namun pada saat saya sedikit menggigit-gigit kelentitnya yang mungil dan indah dipandang mata itu, ia tiba-tiba berteriak agak keras sambil tertawa kecil.. "Uuhh.. aahh.. mm.. saa.. kiit.. Kak.. ha.. hah.. hah" suaranya tiba-tiba seolah ia mengeluarkannya tanpa disadari. Untung waktu itu tidak ada orang lain yang mendengarnya, sebab jika ketahuan kami bisa malu dan dibunuh oleh tetangga dan dilaporkan pada suaminya Ida. Kebetulan tetangga kami pada keluar ke tempat kerjanya, sedang istri saya lagi ke pasar belanja. Karena kami mulai terasa capek dan nampak tak mampu lagi menahan gejolak nafsu birahi dari dalam, maka setelah puas menjilati memeknya dan tarikan tangan Ida atas kontol saya semakin keras, saya lalu menggotong Ida yang sedang bugil itu ke tempat tidurnya, lalu meletakkan tubuhnya di atas kasur sambil dengan terlentang dan secara pelan-pelan saya renggangkan kedua pahanya yang sedang menjepit memeknya yang basah. Ida nampaknya lemas sekali dan tidak bergerak sedikitpun seolah ia pingsang, namun matanya sedikit terbuka memperhatikan gerakan saya dan seolah mengharapkan sekali agar saya mempercepat masuknya kontol saya ke memeknya, meskipun ia tidak mampu lagi berkata-kata. Sikap seperti itu tentu saja saya bisa baca atas dasar pengalaman saya dengan istriku setelah ia terangsang sekali. Pelan tapi pasti, sambil memagut kembali bibir Ida dan meremas susunya, kontolku ikut aktif maju ke depan hingga sedikit menyentuh bibir vagina Ida yang sudah mulai licin, basah dan agak menganga menunggu tancapan kontolku, seolah kontolku itu melihat sehingga tanpa bantuan kedua mata kepalaku kontol itu bisa menemukan sendiri sasarannya dengan tepat. "Kak, masukkan cepat donk, dorong lebih keras lagi biar amblas seluruhnya" demikian secara tiba-tiba suara itu keluar dari mulut Ida ketika ujung kontolku mulai bergeser 1 cm masuk ke lubang paginanya sambil ia tarik pinggulku erat-erat seolah ia ingin memaksakan kontolku masuk sekaligus. Namun, karena menurut Ida kontolku agak lebih besar daripada kontol suaminya, maka wajar saja bila mulanya kami agak kesulitan memasukkannya dengan cepat sesuai harapan Ida, melainkan memerlukan kesabaran, kerjasama yang baik dan teknik yang tepat. Setelah saya maju mundurkan dan gerakkan ke kiri dan ke kanan yang dibantu pula oleh Ida dengan gerakan yang sama, akhirnya sedikit demi sedikit kontol itu mampu menembus lubang memek Ida yang paling dalam. Begitu dalamnya menancap, sehingga Ida sempat mendorong pinggul saya karena merasa sedikit kesakitan ketika saya mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi lalu mendorong dengan kerasnya kontol saya ke dalam memeknya. Terasa memang ujung kontol saya menyentuh sesuatu dalam vagina Ida. Namun, hal itu tidak mengurangi kenikmatan persenggamaan kami, melainkan semakin nikmat, terbukti dari suara kami saling memburuh dan bergantian keluar sebagai tanda nikmat. Semakin lama gocokan kontol saya atas memek Ida semakin cepat dan semakin nikmat pula, hingga pada menit 30 sejak masuknya kontol saya pada lubang vagina Ida, saya merasakan ada gejolak yang memaksa dari dalam kontol saya. "Bagaimana Ida, enak? apa masih lama bisa bertahan?" tanya saya pada Ida ketika mulai terasa ada aliran hangat yang menelusuri batang kontolku. "Ra.. raa.. sanya, sudah mau keluar nih, percepat gocokannya Kak" jawab dan pintanya sambil memeluk erat pinggul saya. "Boleh saya keluarkan di dalam memekmu?" tanya saya dengan cepat sebelum betul-betul aliran itu tiba pada puncaknya. "Di dalam saja Kak, siapa tahu saya bisa membuahi spermamu, biar saya punya anak" jawabnya dengan penuh harap sambil memelukku dengan eartnya seolah takut saya keluarkan di luar. Beriringan dengan pintanya pada saya tadi, Ida terasa gemetar dan sedikit menggigit leherku, dan pada saat itu pula saya merasakan ada cairan hangat yang lepas dari ujung kontolku, sehingga terasa pertemuannya dan kenikmatannya tidak dapat saya gambarkan dan menyetarakan dengan kenikmatan sebelumnya. Sungguh betul-betul puncak kenikmatan, sorga duniawi dan segalanya dalam hidup saya, entah menurut Ida. Walaupun kami sudah sama-sama mencapai puncak kenikmatan itu, tapi rasanya kami tidak ingin saling melepaskan rangkulan kami, entak kenapa, tapi yang jelas, saya baru kali ini merasakan puncak persetubuhan dengan perempuan yang luar biasa nikmatnya, hanya sayangnya Ida adalah istri orang lain dan bukan ditakdirkan jadi pasangan sex saya seumur hidup. Di samping itu, saya sedikit menyesal menyemprotkan sperma saya ke dalam vagina Ida tanpa sadar betul, sebab jangan-jangan betul apa yang diharapkan Ida menjadi kenyataan yakni menjadi janin, bisa-bisa ketahuan suami Ida yang sudah lama berusaha menghamili istrinya, namun tidak pernah jadi kenyataan. Tapi jika hal itu terjadi, Ida pasti cari akal untuk meyakinkan suaminya kalau anak yang dikandungnya itu adalah berkat usaha mereka berdua. Setelah keputusan itu muncul di pikiranku, saya lepaskan pelukanku dan mencoba istirahat sejenak dengan harapan saya akan lanjutkan ronde berikutnya, sebab posisi atau gaya sex yang sempat kami peraktekkan tadi baru satu macam, sementara masih banyak gaya- gaya yang akan kutunjukkan Ida. Belum saya berhenti berfikir dan menikmati istirat, kami terpaksa mendadak berdiri dan buru-buru mengenakan pakaian kami masing- masing, karena tiba-tiba suara istriku dari rumah terdengar "Mana Bapak, cari Bapak nak, mungkin ada di rumah tetangga" kata istriku sepulang dari pasar yang membuat kami kaget dan takut kalau-kalau ketahuan, apalagi Ida menutur dengan rapat pintunya setelah sebelumnya jarang ia menutupnya. Tanpa kami mencuci dan membersihkan kemaluan kami yang berlepotan dengan sperma, Ida dan saya segera bangkit, lalu Ida buru-buru membuka pintunya. Setelah ada isyarat dari Ida bahwa aman di luar, maka saya segera meraih berkas wawancaraku lalu keluar dengan biasa-biasa dan langsung ke rumah. Setelah istriku menanyakan dari mana saya tadi, maka saya hanya beralasan bahwa saya hanya sekedar jalan-jalan keliling kompleks rumah saya. Tiba di rumah, saya langsung masuk ke kamar memeriksa celanaku kalau-kalau ada noda sperma yang melekat, namun tidak sedikitpun kecuali hanya ada basah sedikit pada celana dalamku, itupun tidak sampai dapat diketahui oleh istriku. Baru kuingat sesaat setelah kami menyelesaikan permainan tadi, saya sempat melapnya dengan kain Ida yang ada di dekat kasurnya. Dalam pikiran saya di rumah bahwa muda- mudahan Ida masih mau dan bersedia mengulangi persenggamaan itu pada waktu-waktu yang akan datang, tentunya pada saat suaminya tidak ada di rumah. Dalam hatiku meyakinkan bahwa pasti Ida tidak menolak sebab ia betul-betul merasakan kepuasan yang luar biasa tadi, yang menurutnya belum pernah dirasakan dari suaminya. Walaupun wawancaraku terputus sebelum seluruh pertanyaan saya ajukan dan dijawab oleh Ida, namun cukup memuaskanku, bahkan itulah harapan utama saya melakukan wawancara, pengumpulan data hanyalah alasan yang saya buat-buat, sebab itu bisa saja saya rekayasa, lagi pula karya ilmiah Ati tinggal di print. Sebelum saya mewawancarai wanita lain, saya akan berusaha menuntaskan semua gaya sex yang saya ketahui terhadap Ida, apalagi masih banyak pertanyaan saya yang tersisa belum saya ajukan pada Ida pasti ia bersedia jika ada kesempatan kelak. Memang betul cita-citaku itu dapat terlaksana dengan Ida tidak lama setelah peristiwa yang pertama itu, bahkan berlanjut pada beberapa wanita pilihan saya yang lainnya. Tapi saya belum sempat mengisahkannya pada dalam cerita ini, sebab terlalu panjang untuk diceritakan. Untuk itu, bagi teman-teman yang berminat membacanya, silahkan tunggu lanjutannya pada episod dan kesempatan berikutnya, saya jamin lebih menarik dan lebih seru lagi. Jika ada di antara pembaca yang ingin berkenalan denganku atau mau mengoreksi atau mengomentari kisahku ini, silahkan hubungi emailku di: sappa_nyameng@telk om.net, saya akan berusaha membalasnya. TAMAT: